Header Ads

Donald Trump, Politik Simulacra dan Puncak Paradoks Demokrasi AS








Tangan kanan Donald Trump begitu cepat bergerak. Ia menggoreskan tanda tangan di atas dokumen sangat penting disaksikan para stafnya. Sebuah keputusan kontroversial resmi berlaku sejak Jumat, (27/1) yakni mengenai pengungsi dan para pengunjung dari negara-negara mayoritas muslim.

Perintah ini membatasi masuknya pengunjung dari Suriah dan enam negara mayoritas muslim lainnya selama 90 hari. Keenam negara lainnya adalah Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman. Disebutkan bahwa selama setidaknya satu bulan 30 hari, pemerintah AS akan membatasi pemberian visa bagi warga dari Suriah dan enam negara tersebut.

"Saya sedang mengambil langkah-langkah pemeriksaan baru untuk membuat para teroris Islam radikal menjauh dari AS. Saya tidak menginginkan mereka di sini," kata Trump di Pentagon.

Paska kebijakan rasis tersebut, sebuah masjid di Texas terbakar. Belum ada pernyataan resmi penyebab kebakaran itu. Namun selama ini masjid tersebut menjadi sasaran kebencian terhadap muslim AS. Selain itu, aksi unjuk rasa juga merebak. Mereka menentang keputusan tersebut karena dianggap sebagai anti demokrasi dan kemunduran besar.

Sesaat setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden pada November lalu, kerusuhan merebak di negeri Paman Sam. Mulai dari Washington, District of Columbia, New York, Minneapolis, Texas, Chicago, Boston, Philadelphia, Los Angeles, San Francisco dan sebagainya. Sejumlah kendaraan dan fasilitas umum rusak di kawasan pantai barat dan timur AS. Mereka menentang keras terpilihnya Donald Trump.

Hari ini, demokrasi sedang menghadapi puncak paradoksnya. Ironisnya, itu terjadi di negeri yang selama ini mengklaim sebagai kampiun demokrasi. Kebijakan pelarangan imigran masuk ke AS secara terang-benderang menciderai nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan demokrasi. Mengapa ini terjadi?






Salah satu jawabannya mungkin ada pada sosok Jean Baudrillard (1929-207) pemikir post-strukturalisme yang memperkenalkan konsep dunia simulasi. Menurutnya,
beragam tampilan bercitra indah dihadirkan di pentas seolah nyata tetapi sejatinya sarat rekayasa. Dalam dunia simulasi semacam ini berlaku hukum simulacra, yaitu “daur ulang atau reproduksi objek dan peristiwa”. Objek atau peristiwa itu diperagakan seakan sama atau mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya atau hanya fantasi.

Kata Baudrillard, “Sungguh, sulit memperkirakan hal-hal yang nya
aslinya, tetapi sesungguhnya maya.”

Sebaliknya kata dia lagi,” Sungguh sulit memperkirakan hal-hal yang nyata dari hal-hal yang menyimulasikan yang nyata itu.”

Baudrillard mencontohkan media massa yang menurutnya lebih banyak menampilkan dunia simulasi yang bercorak hiperrealitas, suatu kenyataan yang dibangun oleh media tetapi seolah benar-benar realitas. Media tidak lagi mencermirkan realitas, bahkan menjadi realitas itu sendiri.

Klaim AS sebagai kiblat demokrasi selama ini bisa jadi sebuah realitas semu. Ia hanya pencitraan dan permainan propaganda. Jauh sebelum Trump, kritikan terhadap standar ganda AS juga kerap disuarakan. Dan Trump hari ini menjadi puncak dari paradoks demokrasi AS yang diakibatkan dari politik simulacra.

Semoga tak terjadi di Indonesia...


Erwyn Kurniawan






Diberdayakan oleh Blogger.