Header Ads

Film Iqro dan Pilkada Jakarta








Raut gundah Professor Wibowo masih terbayang di benak saya. Dalam rapat bersama penyumbang dana untuk operasional Bosscha, Professor Wibowo dengan suara tercekat memaparkan bahwa Bosscha adalah anugerah Allah swt untuk Indonesia yang terpelihara dari kekejaman perang dunia kedua. Tatkala Jepang menjatuhkan bom ke atas tanah Bosscha, Allah swt menghendaki agar bom itu tidak meledak.

Begitu perih hati Professor Wibowo mendengar ancaman dana untuk Bosscha akan dihentikan. Bosscha dianggap tak lagi efektif dan produktif sebagai tempat observasi benda-benda langit karena terganggu polusi cahaya di sekitar. Terutama sejak pembangunan hotel yang berjarak 200 meter dari gedung berkubah itu.

Semoga sepenggal cerita di atas tidak menjadi “spoiler” bagi film Iqro yang tengah tayang di bioskop-bioskop tanah air. Kesan setelah menonton film Iqro akhir pekan kemarin masih begitu kuat. Tentang jumawanya konglomerasi yang tega membuat kerusakan demi membangun bisnis dengan dana besarnya. Mengendarai birokrasi yang tak tahan godaan uang.

Pada film tersebut, dikisahkan tentang pembangunan hotel di dekat Bosscha yang semakin mengganggu pengamatan benda-benda langit akibat polusi cahaya yang ditimbulkan. Operasional Bosscha pun terancam dihentikan.

Ketika para penonton dibuat sesak dada akibat konflik di film tersebut, sesungguhnya di dunia nyata kisah ketamakan ini sedang terjadi. Meski bukan pada Bosscha korbannya, namun menimpa nelayan di pesisir Jakarta yang terganggu akibat pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

Apa yang dirasa para nelayan itu lebih menyakitkan dari yang dirasakan Professor Wibowo (diperankan Cok Sumbara). Karena mengganggu pencarian nafkah mereka. Para nelayan harus berjalan lebih jauh untuk mencari ikan dan menghabiskan lebih banyak modal untuk bahan bakar.

Dalam film Iqro, penonton mungkin gemas dengan konglomerat yang seenaknya membangun tanpa izin. Begitu pula di dunia nyata, sebenarnya banyak masyarakat yang gemas dengan ketamakan pengembang yang bahu membahu dengan birokrasi menguruk laut menjadi pulau palsu reklamasi. Tak peduli lingkungan rusak, namun proyek terus berjalan meski tanpa amdal.





Mei 2016 sebenarnya nelayan telah memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas izin reklamasi untuk Pulau G. Namun ketika itu proyek telah terlanjur berjalan. Reklamasi juga melanggar beberapa peraturan beberapa aturan, misalnya Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan peraturan lain. (Lihat: http://www.bantuanhukum.or.id/web/reklamasi-teluk-jakarta-proyek-ambisius-penuh-pelanggaran/ )

Menteri Susi Pudjiastuti sendiri dalam beberapa kesempatan berbicara kepada media meyatakan ketidak setujuannya atas reklamasi ini. Kenyataannya proyek terus berjalan.

Ini yang membuat pikiran saya seketika terasosiasi dengan kasus reklamasi Teluk Jakarta saat melihat adegan film Iqro yang menceritakan pembangunan illegal hotel bintang 5 yang berjarak ratusan meter dari Bosscha.

Memang film Iqro ini dibuat tanpa ada hubungannya dengan pilkada Jakarta. Namun moral story dari film ini tentu mengajak kita untuk berfikir ulang untuk memilih calon yang ngotot ingin mereklamasi Teluk Jakarta.

Zico Alviandri




Diberdayakan oleh Blogger.