Header Ads

Isu Ancaman Kebhinekaan Terpatahkan di Patas 9A

Bapak berkopiah haji putih yang memberikan uang Rp 20.000 kepada pengamen lagu gereja di Bus Patas 9A






Benarkah kebhinekaan sedang terancam? Membaca cuitan Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Azyumardi Azra dan berita Tempo hari ini seolah-olah kain kebangsaan kita sedang tercabik-cabik. Dan kesan umat Islam sebagai asbabnya terlihat begitu kuat.

Dalam akun twitternya, Azyumardi Azra menulis ini:

Intoleransi umat muslim bahkan sudah menyerang sesama muslim. Bahkan intoleran sekarang sesama muslim. Sumber dari masalah harus diselesaikan.

Cuitan itu adalah pernyataan Azyumardi pada Januari lalu saat menghadiri pengajian bulanan di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat. Ia juga memposting berita acara tersebut yang memuat pernyataannya di akun twitternya.

Di saat hampir bersamaan, di jagat twitter saya juga mendapatkan kabar dari akun tempo akan berkumpulnya profesor se-Jawa Tengah untuk membahas masalah kebhinekaan.Acara tersebut bertajuk forum Silaturahim Kebangsaan pada 15 Maret 2017 dan digelar di Wisma Perdamaian komplek Tugu Muda Kota Semarang.

“Saat ini menunjukkan bahwa prasangka, kebencian, fitnah, intoleransi, dan kekerasan sungguh mengancam kebhinekaan dan demokrasi kita,” kata juru bicara Rahim Bangsa, Abdulloh Ibnu Tolkah, Selasa 14 Maret 2017.

Siapa pun paham, keresahan yang tercermin dari dua berita di atas bertolak dari situasi ibukota Jakarta yang kian memanas jelang Pilgub putaran kedua. Sebabnya karena makin tidak jelasnya nasib Terdakwa Penista Agama bernama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sudah 13 kali sidang, bukti makin jelas, fakta tak terbantahkan, namun ia masih melenggang dan diberi kesempatan bertarung di pilkada.

Isu-isu yang oleh sebagian pihak dianggap akan mengancam kebhinekaan mengemuka. Soal tidak bolehnya memilih pemimpin muslim hingga tentang jenazah kaum munafik (pendukung Ahok)  yang tidak boleh disholatkan.




Saya beruntung menjadi saksi hidup dari peristiwa yang mengkonfirmasi bahwa kekhawatiran ancaman kebhinekaan terlalu lebay dan tidak pada tempatnya. Kejadiannya 2 pekan lalu, di atas bus Patas 9 A pada Senin pagi dalam perjalanan menuju Kampung Melayu dari Bekasi Timur.

Saat kendaraan mulai masuk tol Jakarta-Cikampek, seorang pengamen minta ijin bernyanyi. Tak lama kemudian ia mendendangkan lagu rohani (gereja) diiringi dentingan gitar. Bukan hanya satu lagu, tercatat ada 5 lagu ia suarakan hingga bus sampai di gerbang tol Halim.

Lalu ia mulai meminta uang kepada penumpang dengan menyodorkan kantong plastik permen ukuran besar. Ketika ia tiba di seorang bapak yang tepat duduk di samping supir dan ada di depan saya, wajah Sang Pengamen terlihat sumringah.  Dua lembar uang Rp 10 ribuan keluar dari kantong si bapak dan kemudian berpindah masuk ke kantong permen pengamen.

"Terimakasih Pak," kata Sang Pengamen.

Bapak itu berpeci haji warna putih. Ada janggut di bawah dagunya meski tak banyak. Umurnya sekitar 55 tahunan. Meski berkaos, dari penampilannya saya menduga ia seorang muslim yang taat dan biasa ikut pengajian habib dan alumnus Aksi Bela Islam.

Dugaan saya ternyata benar. Usai pengamen berlalu, saya yang berjarak 1 m darinya mendengar pembicaraan dia dengan supir. Tersebut kata habib saat dialog keduanya berlangsung. Suara deru mesin bus yang keras membuat saya tak bisa menangkap utuh pembicaraannya. Maklum, Si Bapak duduk persis di atas mesin bus yang diberi lapisan jok untuk ditempati penumpang.

Hari itu saya menyaksikan episode toleransi yang nyata. Mayoritas penumpang bus adalah muslim namun selama pengamen menyanyikan lagu rohani sama sekali tidak ada yang protes dan memintanya berhenti. Lalu kisah epik tersebut ditutup dengan pemberian uang sebanyak Rp 20.000; bukan Rp 500 perak dari seorang bapak berpeci haji kepada si pengamen.

Sejenak menengok ke belakang, cerita toleransi juga menguak pada Aksi 112 di Masjid Istiqlal. Laskar FPI dan umat Islam membantu pengantin non muslim sampai ke Katedral. Tak ada anarkisme.

Jadi, apa yang kita takutkan tentang ancaman toleransi? Tidak Ada! Sekali lagi saya tegaskan: Tidak Ada!

Saat ini umat Islam hanya menuntut keadilan ditegakkan agar terdakwa penista agama segera masuk penjara seperti kasus serupa sebelumnya. Dan ketika ada suara umat untuk memilih gubernur muslim, itu pun sah dan konstitusional. Toh dalam survey banyak lembaga, pemilih non muslim hampir 100% memilih Ahok dalam pilkada putaran pertama lalu.

Untuk membuktikan kain kebangsaan kita masih utuh karena dijaga oleh umat Islam, rasanya saya tak perlu mengajak para profesor dan kaum Islam Liberal untuk naik bus patas 9A.


Erwyn Kurniawan







Diberdayakan oleh Blogger.