Header Ads

Pak Jokowi, Haruskah Agama dan Politik Dipisah?








Agama dan politik harus dipisah. Begitu kata Presiden Jokowi di Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara, di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3). Ia sangat khawatir, jika tidak ada pemisahan, maka konflik akan terjadi dan rakyat tidak bisa membedakan mana politik dan mana agama.

"Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama, dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," katanya.

Pandangan Jokowi ini mengingatkan saya pada tayangan di Metro TV sekitar 5 tahun yang lalu. Sebuah acara dialog menarik: Menyoal Peran Agama dalam Negara. Pembicaranya: Anis Matta, Bahtiar Effendi (Pakar Politik Islam UIN Ciputat), dan Lutfie Syaukannie (Pegiat JIL).  

Acara dibuka dengan gambar umat berbagai agama sedang beribadah. Tak banyak gambar yang ditampilkan, sekitar 4-5 buah. Setelah itu ditayangkan visual aksi kekerasan yang dilakukan ormas Islam di berbagai tempat. Kali ini, cukup banyak dan sedikit lebih lama waktunya.

Dari opening  ini saja sudah bisa saya duga ke mana diskusi hendak diarahkan.  Dan prediksi saya tak meleset. Pembawa acara dengan berbagai cara mengarahkan agar terbentuk opini bahwa agama tak boleh masuk ke dalam negara  dan negara tak boleh masuk ke dalam wilayah agama. Alasannya: negara adalah  ruang publik dan agama merupakan ruang privat.

Seringkali pemandu acara menggunakan terminologi tendensius. Saat bicara tentang UU Pornografi, Kania Sutisnawinata, sang moderator, mengatakan bahwa UU tersebut sebagai produk yang buruk—meski ia berapologi meminjam istilah Bahtiar Effendi. Di saat yang lain, Kania kerap menggunakan kata “intervensi” negara terhadap agama. Bahtiar Effendi protes keras dengan mengatakan,”Saya kok merasa tidak nyaman dengan kata intervensi.”

Saya tak akan mengulas lebih jauh bagaimana dialog yang terjadi. Ada yang lebih penting dari itu yakni mengapa tema Agama, Negara dan Politik seakan menjadi bahan diskusi yang tak ada habis-habisnya. Seolah-olah masalah ini jauh lebih serius, darurat dan sangat penting dibandingkan masalah korupsi, kemiskinan, pendidikan, dan sebagainya. Seakan-akan masyarakat sangat mebutuhkan wacana tersebut dibandingkan sembako.

Dulu, saat kampanye menjelang pemilihan presiden dan wakilnya pada Juni 2009, tema ini juga menjadi salah satu bahan debat antarkandidat cawapres. Prof Komaruddin Hidayat ketika itu bertanya kepada Prabowo Subianto, Wiranto dan Boediono. “Bagaimana menurut Anda sebaiknya hubungan antara agama dan Negara (politik)?”

“Agama harus kita tempatkan di atas politik,” kata Boediono yang diamini oleh Prabowo Subianto. “Agama memang harus dipisahkan dari politik, tapi nilai-nilai moralnya harus menjadi spirit agar politik menjadi santun dan berakhlak,” ujar Wiranto. Keesokan harinya, Koran Tempo menulis.” Ketiganya sepakat memisahkan agama dari politik.”

Mengapa masih ada saja pihak yang sangat bersemangat mengangkat tema ini?

Abad Pertengahan

Diskursus  bahwa agama harus terpisah dari agama merupakan warisan abad pertengahan. Bermula pada tiga abad pertama Masehi ketika agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi, sejak berkuasanya Kaisar Nero (65 M). Ketika itu, Kaisar Nero memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan.

Pada 313 M, terjadi perubahan drastic saat Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392, lahir lagi Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi.






Tahun 476, Eropa memasuki babak baru sejarah peradabannya saat Kerajaan Romawi Barat runtuh. Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages) dimulai. Gereja Kristen menjadi lembaga agama sekaligus politik yang dominan. Sebuah sistem kepausan (papacy power) disusun oleh Gregory I (540-609 M). Sistem tersebut menjadikan Paus sebagai sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan: politik, sosial, dan pemikiran.

Adagium Lord Acton yang mengatakan  power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely, terbukti pada system kepausan. Kekuasaan mutlak membuat mereka melakukan penyimpangan dan penindasan, seperti stagnannya ilmu pengetahuan dan membanjirnya surat pengampunan dosa. Galileo adalah salah satu korbannya karena berkukuh mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Akibatnya, ia tewas di tiang gantungan karena dianggap melawan Gereja.

Masa kegelapan ini mulai menemukan titik terang saat adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517). Tokoh-tokohnya antara lain Marthin Luther, Zwingly, dan John Calvin. Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiavelidan Michael Montaigne. Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.

Seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin menguat pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII. Tokohnya antara lain Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Puncaknya terjadi saat meletusnya Revolusi Prancis pada 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi pondasi bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.

Pemikiran sekuler dan liberal ini menjalar ke Indonesia dan yang menjadi “Kurirnya” adalah Snouck Hurgronye. Snouck ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda “membersihkan” Aceh. Ia kemudian belajar Islam dan memeluk Islam, bahkan menikah dengan wanita muslim, untuk mempermudah aksinya. 

Setelah sekian lama melakukan penelitian, Snouck memberikan pemaparan dan rekomendasi. tentang budaya masyarakat Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Terjadinya perang dahsyat Aceh dengan Belanda, katanya, karena dilatarbelakangi oleh keberadaan ulama yang sangat disegani.

Snouck kemudian merekomendasikan agar Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.

Gagasan Snouck meminggirkan peran ulama (agama) dalam pemerintahan terus berkembang hingga kini. Pemikirannya ini kemudian diamini oleh banyak tokoh terkemuka dan sekelompok masyarakat di negeri ini. Dan mereka tak bosan-bosan terus menggelar diskusi dan membentuk opni  agar agama dan negara terpisah.

Pertanyaannya, apakah benar Negara-negara Barat telah memisahkan agama dan Negara (politik)? Ternyata sama sekali tidak. Mereka berlaku munafik. Pemerintahan mereka, kerap kali berpihak kepada agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk.

Di AS, meski di dalam konstitusnya dinyatakan secara tegas adanya pemisahan agama dan negara, tapi prakteknya tidak.  Ronald E. Theimann dalam bukunya Religion in Public Life, menulis bahwa pemerintah AS dalam mengambil kebijakan, sangat dipengaruhi oleh agama mayoritas penduduknya yakni Kristen Protestan. Contoh, pada 1 Mei 1789, House of Representatives AS (Dewan Perwakilan Rakyat) , mengangkat William Linn, seorang pendeta Protestan sebagai Chaptain of The House atau pejabat agama untuk DPR.

Lalu pada September 1789, DPR AS meminta Presiden George Washington untuk membuat proklamasi Thanksgiving Day.

Seorang Hakim Agung anggota Mahkamah Agung, yaitu Supreme Court Justice, Joseph Story—setelah 40 tahun penulisan First Amandement—mengatakan,” It is impossible for those, who believe in the truth of Crhistianity, as a divine revelation, to doubt, that it is the special duty of government to fosler and encourage it among, all the citizens and subjects. Probably at the time of adoption of the constitution, the general if not the incompalible with the private rights of conscience and the freedom of religious worship.”

Pendapat ini banyak disetujui oleh intelektual terkemuka Barat, termasuk Jean Jacques Rousseau yang mengatakan bahwa agama ada perlunya dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan individual. (Sayyidiman Suryohadiprojo, Republika, 1 Juni 1996)

Salah Garuk
Mengapa di negeri ini, diskursus agama (baca: Islam) dan Negara dianggap belum selesai (never ending story). Bukankah penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi bukti shahih kompromi umat Islam?

Pertama, karena trauma sejarah Abad Pertengahan. Rasa trauma itu dikembangbiakkan oleh kaum kolonial, diantaranya melalui Snouck Hurgronye. Padahal, relasi Islam dan Negara sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa pertengahan itu. 

Pemerintahan Islam tidak sama dengan teokrasi di Eropa dulu, tempat di mana adanya kelompok pendeta yang melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. Sistem tersebut justru lebih bersifat syaitaniyyah daripada Ilahiyah. (Abul Ala al-Maududi,Sistem Politik Islam, 1990). Al Maududi menyebut sistem pemerintahan Islam dengan teo-demokrasi.

Kedua, Islamofobia. Ini adalah penyakit yang terus mengendap di sebagain tubuh bangsa ini. Kata Taufik Abdullah, peneliti LIPI, penyakit tersebut muncul karena,””Perasaan kurang percaya diri golongan minoritas.” Menurtnya, minoritas yang percaya diripasti tidak akan takut pada Islam. Mereka akan bergaul dengan siapa saja seperti dalam memperjuangkan demokrasi dan musyawarah. (Politik Demi Tuhan, Pustaka Hidayah, 2000)

Isalmofobia muncul karena adanya kecurigaan yang berlebihan yang dibungkus dengan menghembuskan berbagai macam mitos seputar Islam dan keindonesiaan. Misalnya mitos tentang disintegrasi bangsa ketika Islam dijadikan sebagai ideologi. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang valid bahwa Islam menjadi sumber perpecahan bangsa. Umur persatuan bangsa, kata Anis Matta, tidak ditentukan oleh ideologi yang dianut suatu bangsa, namun oleh umur keadilan politik, sosial dan ekonomi. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, Penerbit Fitrah Rabbani, 2006)

Timor-Timur yang keluar dari NKRI, bukan karena di sana diterapkan syariat Islam, tapi karena ketidakdilan dalam berbagai bidang. Nanggroe Aceh Darussalam yang “memberontak”, juga bukan karena sytariat Islam, namun karena tak adanya keadilan ekonomi dan sosial. Begitu pula halnya dengan Papua.

Ketiga, karena cara berpikir yang pukul rata; menggeneralisasi suatu fenomena sosial. Bahasa latinnya: pars pro tato. Setelah melihat fenomena banyak elit politik islam dan partai Islam yang gagal mengemban amanah umat dan berperilaku tak sesuai dengan nilai-nilai Islam (korupsi, haus kekuasaan, zalim, amoral, dsb), maka dianggap bahwa semua elit Islam dan partai Islam seperti itu. Karenanya, tak perlu lagi agama dan politik disatukan karena politik hanya mengotori agama. Kecuali itu, agama hanya jadi bahan jualan.

Kuatnya keinginan memisahkan agama dan negara hanya karena trauma sejarah abad pertengahan, islamofobia dan cara berpikir pars pro tato,  tentu saja salah. Hal semacam ini sama saja dengan “salah garuk”. Kepala yang gatal, tapi kaki yang kita garuk. Alih-alih memecahkan masalah, justru kian menambah masalah.

Di tengah rusaknya kelakuan elit politik Islam dan partai Islam, masih banyak tokoh politik Islam yang memiliki kesantunan dalam berpolitik. Masih banyak yang amanah. Masih banyak yang tak korupsi. Masih banyak yang bersih. Masih banyak yang hidunya sederhana. Masih banyak yang mementingkan rakyat.  Kalau kata Shohatul Harakah,” Harapan Itu Masih Ada.”

Memisahkan agama dan negara (politik) adalah hal yang sangat berbahaya. Ketika agama dan politik terpisah, maka Tuhan hanya hadir di masjid dan mushola, serta saat menjelang pemilu. Tuhan tak akan pernah hadir di gedung DPR, Istana Negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Menyeramkan, bukan?

Bukankah hari-hari belakangan ini, kondisi semacam itu yang terjadi? Agama dinista, Al Quran dilecehkan, ulama dikriminalisasi, suara umat mayoritas tak didengar.

Sebagai penutup, saya berandai-andai, jika saja Yusuf Qaradhowi hadir saat acara dialog di Metro TV, ia pasti akan berkata pada Kania Sutisnawinata. ”Wahai saudaraku, bila Islam tidak menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang disentuh Islam itu?” ( Fiqih Negara, Robbani Press, 1997)

Bukan begitu Pak Jokowi?

Wallohu'alam,

Erwyn Kurniawan






Diberdayakan oleh Blogger.