Header Ads

Ahok, Cipinang dan Massa Simulacra yang Bobrok







Asap membumbung tinggi. Bau karet dari ban dibakar menusuk hidung. Sampah berserakan, tanaman rusak terinjak-injak. Pagar tinggi nan kokoh tiba-tiba saja menjadi ringkih. Lalu nama Jean Baudrillard tampak menari-nari di kepala saya.

Jika saja sepanjang Selasa, 9 Mei kemarin, Baudrillard melihat aksi massa pendukung Ahok di depan Rutan Cipinang, maka kejengahan dan kejengkelannya terhadap dunia yang berisikan realitas semu kian menjadi-jadi. Di sana, teori simulacra yang dilontarkannya mendapat pembenarannya secara mutlak.

Ahok dan pendukungnya selama ini diposisikan sebagai penjaga kebhinekaan, pro NKRI, pendukung keberagaman dan tidak radikal atau anarkis. Lalu dikirimkanlah ribuan karangan bunga plus balon merah putih. Media dengan gegap gempita mencitrakan hal tersebut kepada publik.

Melawan Ahok yang menista agama dianggap anti kebhinekaan dan keberagaman. Jutaan umat Islam yang berdemo menuntut keadilan dinilai sebagai perusak NKRI. Stigma radikal dan anarkis dilekatkan.

Jelang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, video kampanye Ahok yang mendiskreditkan umat ditayangkan. Umat Islam diopinikan sebagai sosok yang rasis, tangannya berlumur darah dan akrab dengan kekerasan. Realitas semu pun terbentuk persis seperti Simulacranya Baudrilliard.

Baudrilliard memperkenalkan konsep dunia simulasi. Menurutnya,beragam tampilan bercitra indah dihadirkan di pentas seolah nyata tetapi sejatinya sarat rekayasa. Dalam dunia simulasi semacam ini berlaku hukum simulacra, yaitu “daur ulang atau reproduksi objek dan peristiwa”. Objek atau peristiwa itu diperagakan seakan sama atau mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya atau hanya fantasi.

Baudrillard mencontohkan media massa yang menurutnya lebih banyak menampilkan dunia simulasi yang bercorak hiperrealitas, suatu kenyataan yang dibangun oleh media tetapi seolah benar-benar realitas. Media tidak lagi mencermirkan realitas, bahkan menjadi realitas itu sendiri.





Realitas yang ditampilkan tampak benar dan objektif, tetapi sebuah kebenaran dan objektivitas yang dikonstruksi sesuai selera para aktor yang berkepentingan. Di belakang media dan ilmuwan tidak jarang bertahta rezim-rezim penguasa dan pemilik modal besar yang mengendalikan realitas yang direproduksi ke khalayak untuk menciptakan dunia yang seolah sebenarnya tetapi sudah terekayasa.

Dunia simulasi memang rumit, dari luar begitu gemerlap dan sangat perkasa. Dan ia makin tak terkendali di dunia cyber seperti saat ini. Meminjam istilah Anthony Gidden, bagaikan Jeggernout: kereta raksasa yang siap menggilas siapa saja dan apa saja yang berlawanan.

Coba kita mengkritik atau menentang Ahok di dunia maya. Dalam sekejap, akun kita akan diberondong buzzer dengan kalimat kasar dan menyakitkan. Kita dilindas habis Jeggernout.

Peristiwa Cipinang mengkonfirmasi bahwa pencitraan Ahok dan pendukungnya sebagai simbol keberagaman dan anti kekerasan hanyalah simulacra. Realitas semu yang sarat rekayasa.

Mereka seolah-olah anti kekerasan, namun nyatanya tidak. Seakan-akan pendukung keberagaman, tapi faktanya tidak. Tercitrakan santun, namun buktinya tidak.

Mereka seolah tampak digdaya dan menjadi arus utama, namun sejatinya hampa makna.  Kehidupan yang mengalami meaninglesness, tulis Anthony Giddens.

Kehidupan yang minus makna akan tampak perkasa tetapi di dalamnya ringkih. Sebuah kehidupan yang oleh Max Weber dan Friedrich Schiller disebut telah mengalami disenchantment of the world, dunia yang kehilangan pesona. Dari luar tampak serba cemerlang, tetapi di dalamnya tersimpan berjuta masalah dan kebobrokkan yang menyesakkan kehidupan.

Bukankah itu yang tergambarkan secara terang-benderang kemarin di depan Rutan Cipinang? Dengan asap, bau ban, sampah dan pagar kokoh yang tiba-tiba menjadi rapuh didorong massa simulacra yang bobrok.

Erwyn Kurniawan






Diberdayakan oleh Blogger.