Header Ads

Membaca Bom Kampung Melayu dengan Alif Lam Mim

Bom Kampung Melayu mengingatkan pada film Alf Lam Mim yang tayang di bioskop pada tahun 2015





Rabu malam itu, di bawah tenda payung saya asyik bercengkerama dengan beberapa warga sambil menyeruput kopi. Lalu kabar ledakan di Terminal Kampung Melayu datang. Mereka awalnya tercengang, namun selanjutnya analisis layaknya Alif Lam Mim mengapung meski saya yakin mereka tak pernah menontonnya.

"Ini mah pengalihan isu," kata seorang warga.

"Pasti ada kasus yang mau ditutupi nih," ujar yang lainnya lagi.

Alif Lam Mim (3) adalah film besutan Anggy Umbara. Berkisah tentang pesahabatan Alif, Herlam dan Mimbo. Ketiganya tumbuh besar dan menempa latihan silat bersama dilingkungan pesantren Al-Ikhlas pimpinan Kyai Mukhlis.

Mereka memilik cita-cita yang berbeda. Alif ingin menjadi aparat penegak hukum,  mengabdi pada Negara dengan menangkap semua penjahat. Mimpi yang berlatarbelakang kejadian pembunuhan terhadap kedua orang tuanya.

Herlam ingin menjadi wartawan atau jurnalis agar dengan tulisan-tulisannya dia bisa menyampaikan kebenaran. Sedangkan Mimbo bertekad tetap mengabdi dipesantren menyebarkan kebaikan melalui agama dan wafat dalam keadaan khusnul khatimah.

Cita-cita mereka terwujud. Alif menjadi penegak hukum dan tergabung dalam pasukan elit Detasemen 38 : 80-83, Lam menjadi Jurnalis di Libernesia dan Mim menjadi ustadz di Pondok Pesantren Al-Ikhlas.

Film Alif Lam Mim sendiri bersetting Jakarta pada tahun 2036. Kala itu, paham liberalisme radikal menghegemoni. Agama mulai ditinggalkan dan dianggap kuno, agama dianggap memicu kekerasan dan menghalangi kebebasan, bahkan ritual ibadah seperti sholat menjadi bahan olok-olok, Islam yang tadinya mayoritas menjadi minoritas.





Alif Lam Mim yang semula kawan kemudian menjadi lawan. Mereka dihadapkan dengan satu isu: terorisme. Jakarta saat itu sedang marak bom yang diledakkan di mana-mana dan umat Islam disudutkan. Aparat Negara kemudian menuding Pesantren Al Ikhlas pimpinan KH Mukhlis yang merupakan tempat Mim mengabdi sebagai aktor teror bom.

Sepanjang film ini bergulir kita disuguhkan tentang adanya "invisible hand" dibalik tragedi bom dan isu terorisme yang mengemuka. Anggy Umbara secara apik dan cerdas menceritakan bagaimana aparat Negara membuat skenario menstigmatisasi umat Islam sebagai dalang teror.

Hari ini masyarakat sudah tercerdaskan. Bom Kampung Melayu bagi mereka adalah lagu lama dengan judul dan aransemen baru. Skenarionya selalu sama: ada pelaku yang mati dengan meninggalkan KTP, polisi bergerak cepat dan menuduh kelompok tertentu sebagai aktornya, pemerintah membuat pernyataan diikuti tokoh-tokoh pendukungnya, lalu media arus utama kompak memberitakan dengan syair yang serupa. Bahkan belakangan ada asesoris dapur bernama panci yang tak ketinggalan dijadikan alat bukti.

Jadi, tak perlu heran jika akhirnya publik tak percaya bahwa aksi bom karena perbuatan teroris atas nama Islam. Alih-alih takut, masyarakat justru berbondong-bondong mendatangi tempat kejadian. Bukankah ini bukti shahih tak takut dan tak percayanya publik?

Bom Kampung Melayu yang meledak pada 24 Mei 2017 persis seperti yang digambarkan dalam film Alif Lam Mim. Pihak kepolisian boleh membantahnya, namun suara-suara ketidakpercayaan terhadap skenario busuk kepada umat Islam terlanjur membesar. Tak hanya di bawah tenda payung tempat saya dan beberapa warga kongkow pada Rabu malam itu.

Erwyn Kurniawan






Diberdayakan oleh Blogger.