Header Ads

Siapa yang Perlu, Jokowi atau GNPF?







Sebagaimana SOP yang baku, semua orang hendaklah bersangka baik terhadap pertemuan Presiden Jokowi dan GNPF-MUI di hari Lebaran (25/6/2017). Tetapi, karena kedua pihak ini sedang menjadi pemeran utama “national theater” yang sempat menyerempet bahaya belakangan ini, tentulah wajar kalau bermunculan rasa heran, kaget, bingung, dlsb.

Macam-macam komentar yang keluar. Ada yang khawatir GNPF akan dikooptasi oleh Jokowi untuk kepentingan kekuasaannya. Ada pula yang percaya bahwa orang-orang GNPF tidak akan mudah "dibeli".

Mensesneg Pratikno berusaha “meninggikan” Presiden dengan mengatakan bahwa pertemuan ini berlangsung atas permintaan GNPF. Pratikno bergegas untuk menjaga citra bosnya.

Politisi PDIP, Eva Sundari, berusaha “mengerdilkan” GNPF dengan berkomentar bahwa Jokowi tidak mengistmewakan GNPF. “Sama saja dengan tamu-tamu lain,” kata Eva. Dia merasa perlu menurunkan posisi GNPF agar Jokowi selalu tampak tegap dan tampak “in control” bukan “lost control”. Sederhananya, supaya Jokowi terihat “pegang kendali” bukan “hilang kendali”.

Komentar Pratikno dan Eva ini sangat wajar karena mereka sadar bahwa GNPF adalah gerakan yang telah menunjukkan kemampuan untuk menghimpun massa dalam jumlah besar, tertib, dan tanpa pamrih. Belum tentu kampanye akbar Jokowi bisa menghadirkan sebegitu banyak orang. Jadi, ketika Jokowi bertemu GNPF di Istana, Pratikno dan Eva merasa perlu “membantu” publik untuk melihat siapa yang sebenarnya lebih dihormati oleh masyarakat.





Dari pojok inilah ada yang menarik untuk dijawab: siapa yang perlu, Jokowi atau GNPF?

GNPF tidak punya beban apa-apa. Mereka tidak menghiraukan soal siapa yang meminta pertemuan. Mereka juga tidak peduli kategorisasi “bukan tamu istimewa” seperti kata Eva, atau sebaliknya. Sebab, mereka datang bukan untuk menunjukkan ego GNPF. Mereka berkunjung ke Istana untuk mengingatkan Jokowi agar tidak menyepelekan ulama. Untuk, secara tersirat, mengatakan kepada Jokowi bahwa kriminalisasi ulama akan merugikan dia sendiri.

Dengan demikian, GNPF tidak memerlukan Jokowi. Andaikata pun Jokowi membiarkan polisi mengkriminalisasikan ulama, GNPF malah akan semakin kokoh. Mereka dilihat sebagai korban kezaliman. Sebaliknya, Jokowi yang akan tercoreng dengan sebutan penguasa zalim. Tentu ini tidak diinginkannya.

Selain itu, Jokowi ingin dipandang sebagai presiden yang dekat dengan ulama. Pertemuan dengan GNPF adalah pintu menuju ke sana. Karena itu, lebih pantas disebut Jokowi yang memerlukan GNPF, bukan GNPF yang memerlukan Jokowi.

Jokowi sudah mulai berkalkulasi dengan pilpres 2019. Blusukan tidak akan bisa lagi menjadi “trade mark” untuk merebut suara. Sebab, rakyat pemilih sudah sadar bahwa blusukan bukanlah kualitas yang diperlukan untuk mengelola negara. Orang sudah bosan dengan gaya blusukan.

Karena itu, diperlukan jalur lain untuk “menyambung kontrak” Istana. Jalur lain itu adalah kemesraan dengan kaum muslimin. Tidak ada cara lain. Jokowi melihat GNPF (dan ulama) bisa menjadi “deciding factor” (faktor penentu) di tahun 2019.

Asyari Usman
Wartawan Senior






Diberdayakan oleh Blogger.