Header Ads

Membela Muslim Rohingya Merawat Akal Sehat












Kebenaran dan kejahatan terus bertarung hebat. Baik dan buruk makin sulit terlihat. Pahlawan dan pecundang bertukar tempat. Lalu, menyuarakan nurani kemanusiaan pun dianggap penjahat. Umat diumpat, membuat akal sehat di negeri ini menjadi sekarat.

Pembantaian muslim Rohingya menjadi bukti tak terbantahkan. Sudah 300 ribu orang mengungsi ke Bangladesh. Rezim junta militer Myanmar dan Buddha Radikalis pimpinan Biksu Ashin Wirathu membakar desa mereka. Kampung mereka, tempat lahir mereka dibumihanguskan. Ribuan bayi, anak kecil dan wanita meregang nyawa.    
  
Umat Islam di Indonesia geram. Marah. Murka. Unjuk rasa dihelat. Donasi dikumpulkan. Dukungan kepada saudara seiman terus dikumandangkan. Bukan semata atas nama agama, tapi juga kemanusiaan yang tercabik-cabik.

Namun, semua itu kini tak lagi mendapat tempat di Tanah Air. Pembelaan dianggap keanehan. Bullyan dan kecaman justru menerjang suara umat yang tak tahan melihat rintihan kemanusiaan di Rohingya. Kelompok ini terus membangun opini yang menyudutkan umat.

“Begitulah nasib minoritas dimana-mana,” kata tokoh Jaringan Islam Liberal yang ingin menyamakan kondisi minoritas muslim Rohingya dan minoritas umat non muslim di Indonesia.

“Buat apa membantu dan peduli Negara lain. Di negeri sendiri masih banyak yang harus dibantu,” dalih mereka.

“Jangan impor masalah Rohingya ke Indonesia,” tandas mereka.

Tak cukup sampai di sini. Lebih keji lagi, mereka mengopinikan kebiadaban Budhha radikalis serupa dengan Front Pembela Islam (FPI).







Saya pernah menulis tentang sedang jungkir baliknya moralitas di Indonesia. Dan kini, akrobat tersebut makin tak terbendung. Ketika baik dan buruk bersalin rupa, maka akal sehat kita dalam ancaman besar. Inilah yang justru patut kita khawatirkan dalam pertarungan isu politik selama ini.

Kemanusiaan tak mengenal batas-batas geografis. Tak tersekat agama, suku dan ras. Tak terkotak-kotak ideologi. Dia berlaku universal, apalagi di negeri yang mengaku Pancasila dan mengampanyekannya secara massif sistematis: Saya Pancasila Saya Indonesia. Ironisnya, itu semua tak lagi berlaku di Indonesia. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab seolah menguap. 

Media massa mengunakan istilah konflik untuk mengaburkan pembantaian atau genosida yang sedang terjadi. Terminologi “etnis” dipakai menggantikan “muslim” agar tak terkesan ada sentimen agama. Wawasan geopolitik diapungkan dan soal penyerangan militan Rohingya dibesar-besarkan sebagai akar penyebab.  

Padahal, secara akal sehat, melihat pembantaian muslim di Rohingya tak perlu njlimet. Akal sehat adalah terjemahan kontekstual dari common sense. Harfiahnya menunjuk pada arti pemahaman biasa yang dibuat oleh akal sehat orang kebanyakan tanpa banyak-banyak berpikir rumit-rumit atau berenung-renung sulit. Semisal tanda alam langit berawan, akal sehat biasa ”menyimpulkan” akan hujan sebentar lagi.

Darah yang menggenang, nyawa yang meregang, desa yang dibakar,  dan ratusan ribu pengungsi yang berjalan terseok-seok menyusuri hutan, sawah, sungai cukup dicerna dengan akal sehat. Tak perlu rumit dengan melihatnya dari kacamata geopolitik dan sejenisnya.

Jika akal sehat tak terawat, benarlah apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia:
 “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana”


Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi Wajada








Diberdayakan oleh Blogger.