Header Ads

Yerusalem di Antara Abu Janda dan Donald Trump



Abu Janda dan Donald Trump hidup di dunia yang berbeda. Yang pertama moncer namanya di alam maya, dikenal khususnya oleh warganet di Indonesia. Yang kedua, seorang presiden AS dan tentu saja eksistensinya ada di dunia nyata. Tapi soal Yerusalem, keduanya memiliki kesamaan.





Permadi Arya, nama asli Abu Janda, mengaku seorang anggota Banser NU. Di media sosial, dia mentasbihkan dirinya sendiri sebagai seorang ustad. Tapi, setiap status yang ditulisnya selalu menyerang Islam dan membela Ahok. Tak heran jika dia kerap disebut Ahoker.

Saat kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok sedang panas-panasnya, Abu Janda bagai seorang "die hard" mantan gubernur DKI Jakarta itu. Mati-matian dia membela Ahok dengan segala dalih. Bukan cuma bertahan, tapi juga menyerang umat Islam yang menuntut keadilan.

Setelah Ahok dipenjara, kelakuan Abu Janda tak berubah. Malah makin menjadi-jadi. Reuni 212 contohnya. Habis-habisan dia membully acara dan umat Islam yang hadir. Dan puncaknya saat di ILC yang justru menjadi backfire buat Abu Janda.

Kedoknya terbuka. Aibnya terkuak. Dia pun akhirnya mengaku bukan ustad saat merespons Felix Siauw. Di forum itu pula, Abu Janda layak disebut penista agama seperti Ahok karena mempertanyakan hadits Rasulullah saw dan menyebutnya dhoif.

Hanya berselang satu hari setelah kehebohan Abu Janda, dunia terhenyak. Kali ini bukan hanya di jagat maya, tapi juga alam nyata. Presiden AS Donald Trump dengan penuh percaya diri dan pongahnya menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel.

Sontak saja suara-suara perlawanan menggema. Dari Presiden Turki Reccep Tayip Erdogan hingga Presiden Jokowi. Umat Islam marah. DK PBB segera menggelar sidang darurat. Lalu Hamas siap melawan dengan gerakan intifadha yang melegenda itu.

Yerusalem, atau Baitul Maqdis bagi umat Islam adalah Tanah Suci. Episode demi episode sejarah Islam, semua tersimpul dengan kokoh dengan Baitul Maqdis.  Di tanah inilah sekitar 2/3 nabi dan rasul yang kita kenal, lahir, berdakwah dan dimakamkan. 

Di tanah ini pula ada Masjidil Aqsha. Kiblat pertama umat Islam dan tempat Rasulullah saw diperjalankan Allah swt ke langit ke tujuh melalui Isra' Mi'raj.

Baitul Maqdis ibarat visualisasi surat Al Faatihah. Jika Al Faatihah adalah rujukan dari semua kandungan surat dalam Al Quran, maka Baitul Maqdis adalah rujukan atau panduan kita dalam mempelajari sejarah Islam itu sendiri.





Lalu, semua itu kini telah dirampas oleh Donald Trump. Cukup dengan dia bicara di atas podium, disiarkan ke seantero dunia dan kemudian Baitul Maqdis berpindah tangan.

Trump tak hanya melakukan tindakan ahistoris karena tak ada alasan sejarah sedikitpun yang bisa membenarkan Israel hidup di Yerusalem. Tapi lebih dari itu, Trump jelas sekali telah melakukan penistaan agama kepada umat Islam, sama dengan yang dilakoni Abu Janda.

Jadi, hari-hari ini dan ke depannya, kita seperti menyaksikan lomba lari 100 m. Para pelari berpacu saling berkejaran menuju garis finish. Persis seperti itulah penistaan terhadap Islam. Mereka berlomba-lomba membully, mengecam hingga membuat kebijakan yang menyudutkan umat Islam.
Tak hanya di dunia maya, tapi juga alam nyata.

Dunia sedang dalam frekuensi yang sama. Di Indonesia marak penistaan Islam, di belahan dunia lain pun demikian. Seperti yang dipertontonkan Abu Janda dan Donald Trump saat ini.


Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi Wajada



Diberdayakan oleh Blogger.