Header Ads

Ikhwanul Muslimin, Blokade Qatar dan Menangisi Ketiadaan Raja Faisal







Tanggal 25 Maret 1975 mungkin menjadi titik kulminasi kebangkitan Islam. Seorang ksatria yang dengan gagah melindungi setiap dakwah Islam di muka bumi - tanpa membeda-bedakan kelompok atau pelaku dakwah - dengan tragis terbunuh dengan cara yang keji. Maka berduka lah segenap umat Islam di penjuru dunia.

Sosok itu adalah Raja Faisal bin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman as-Saud rahimahullah. Dibunuh oleh keponakannya sendiri, yaitu Faisal bin Mus'ad yang baru saja pulang dari Amerika Serikat. Mus'ad menyamar sebagai delegasi Kuwait yang ingin bertemu Raja Faisal secara mendadak. Pada saat Raja Faisal berjalan kearahnya untuk menyambut, Faisal bin Mus'ad pun tiba-tiba mengeluarkan sepucuk pistol dan menembakkannya ketubuh Raja Faisal sebanyak tiga kali. (sumber: wikipedia)

Raja Faisal mengingatkan saya kepada sosok Hamzah bin Abdul-Muththalib a.s., paman Nabi Muhammad saw yang menjadi pelindung bagi dakwah Rasulullah saw. Mereka berdua sama-sama orang kuat yang memiliki keberpihakan kepada dakwah Islam. Dan dengan kekuatannya, ia menjadi penjamin dakwah tetap berjalan. Raja Faisal lah yang mengecam pemerintah Indonesia karena memenjarakan Mohammad Natsir, da'i dan politisi partai Masyumi. Raja Faisal juga yang berupaya melindungi Sayyid Quthb dari hukuman gantung oleh Jamal Abdul Nasser.

Ya, terhadap Sayyid Quthb, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, Raja Faisal punya keberpihakan. Di masa kepemimpinannya, Kerajaan Arab Saudi mensponsori penerbitan buku-buku karangan Sayyid Quthb. Termasuk Ma'alim Fi Thariq. Pembelaan kepada Sayyid Quthb pun turut diperlihatkan oleh ulama Arab Saudi, salah satunya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah. Beliau ikut meminta penundaan terhadap hukuman mati untuk Sayyid Quthb. Alhamdulillah, penguasa dan ulama ketika itu kompak dalam pembelaan kepada sesama muslim.

Saya tidak hidup di zaman itu. Tetapi saya yakin, mengingat pembelaan Syaikh Bin Baz, friksi antara pegiat dakwah Salafi - yang berkembang di Arab Saudi - dan Ikhwanul Muslimin tidak semenyedihkan sekarang. Apalagi Fatwa Lajnah Daimah nomor 2/237-238 menyandingkan antara Ahlul hadits, Jamaah Anshor Sunnah, dan Ikhwanul Muslimin dalam “kelompok yang paling dekat dengan kebenaran.” Fatwa itu pun memerintahkan agar tiap kelompok saling bekerjasama.

Kini setelah bertahun-tahun wafatnya Raja Faisal, buku-buku yang diterbitkan Sayyid Quthb - yang sebenarnya ia tulis untuk mengoreksi kehidupan sekuler di negerinya, Mesir - dituduh sebagai biang kerusuhan di jazirah Arab. Buku-buku itu memang tak lepas dari kekurangan dan kritikan. Bila ada yang menjadikannya referensi untuk melakukan teror, toh pelaku teror juga menggunakan ayat-ayat Qur'an sebagai pembenaran. Tentu kesalahan ada pada penafsiran para pelaku.

Pertanyaan sederhana, apakah terbunuhnya Raja Faisal ketika itu diinspirasi oleh tulisan Sayyid Quthb? Apakah anggota Ikhwanul Muslimin yang membunuh Raja Faisal?

Jawabannya bukan. Selama Raja Faisal hidup, keadaan baik-baik saja. Tak ada yang menafsirkan tulisan Sayyid Quthb untuk membuat konspirasi kepada Raja Faisal. Tidak juga anggota Ikhwanul Muslimin.





Sebenarnya buku-buku Sayyid Quthb pun tidak dijadikan rujukan utama dalam gerakan Ikhwan. Karyanya hanyalah salah satu inspirasi untuk kebangkitan Islam. Anggota Ikhwan lebih banyak menyerap gagasan Hasan Al-Banna yang dituang dalam Majmu Rasail.

Pada tahun 1975 itu bukan Ikhwan yang membuat kekacauan yang berujung pada wafatnya sang pembela dakwah Islam. Tapi kini Ikhwan tertuduh menjadi penyebab kekacauan di berbagai jazirah Arab. Tahun 1975 kekacauan tidak disebabkan oleh tulisan Sayyid Quthb, tapi kini karya-karyanya dituduh pemicu terorisme.

Selain Arab Saudi, negara yang menampung pengungsian anggota Ikhwan - karena diusir dari Mesir - adalah Qatar. Tetapi tak pernah terdengar isu anggota Ikhwan merencanakan pemberontakan kepada kepala negara Qatar. Hubungan mereka baik-baik saja. Tak terdengar karya Sayyid Quthb menginspirasi anggota Ikhwan untuk merebut kekuasaan di Qatar.

Kemarin ini Arab Spring merebak di Timur Tengah. Yang terjadi adalah rakyat yang selama ini ditindas oleh Mulkan Jabbariyan (diktator) mencoba melepaskan kungkungan. Di Tunisia, pilot yang menolak menerbangkan Ben Ali - yang dianggap pahlawan oleh rakyat sana sebagai pencetus momentum kejatuhan diktator - tak pernah disebut sebagai anggota Ikhwan. Di Mesir, bahkan pendukung liberalisme ikut ambil bagian bersama masyarakat untuk menjatuhkan Hosni Mobarak. Di Suriah, FSA -kelompok yang awal memberontak kepada Bashar Assad - berhaluan nasionalis dan bukan sayap Ikhwan. Tetapi yang disalahkan atas kekacauan semua ini hanyalah Ikhwan.

Entah lah apa yang terjadi di istana kerajaan Arab Saudi. Namun ketika Raja Salman naik, sempat terpercik harapan akan hubungan yang membaik antara para Pelayan Tanah Haram dengan aktivis pergerakan. Apalagi sempat terlihat hubungan mesra antara Raja Salman, Erdogan, dan Syeikh Tamim bin Hamad Al Thani. Hubungan itu sedikit banyak akan berimbas pada membaiknya hubungan antara pengikut dakwah salafi dan Ikhwanul Muslimin.

Tapi semua terjadi begitu cepat. Pada 20 Mei 2017 Trump berkunjung ke Arab Saudi, bertemu dengan para anggota kerajaan. Beberapa hari kemudian, tanggal 5 Juni, Kerajaan Arab Saudi memutus hubungan dengan Qatar. Dan kemudian para pegiat dakwah salafi dan Ikhwan di Indonesia (mungkin di negara lain juga) terlibat perang kata-kata di bulan yang penuh berkah ini. Innalillahi...

Zico Alviandri






Diberdayakan oleh Blogger.