Header Ads

Raja Salman dan Menguak Emosi Keagamaan yang Menyertainya





Sebuah pesan masuk ke WhatsApp saya dari seorang teman. Isinya meminta agar kita menyikapi kunjungan Raja Salman bin Abdul Aziz dengan normal. Boleh menghormatinya, tapi jangan mengkultuskannya. Sepertinya Si Pembuat Pesan risau dengan euforia umat Islam yang menyambut kedatangan Raja Salman dengan gegap gempita di mana-mana.

Ada seorang ibu dari Medan, Sumatera Utara sengaja pergi ke Bogor, Jawa Barat untuk sekadar menyambut Sang Raja. Ada pula wanita dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang terbang ke Jakarta untuk menyaksikan Raja Salman di Masjid Istiqlal.

Di Bogor sendiri, anak-anak sekolah terus mengibarkan bendera Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi di sepanjang jalan menuju Istana Bogor. Hujan tak membuat mereka beranjak dan tetap melambaikan ke angkasa dua bendera nasional tersebut. Kalimat tauhid berkibar bersanding dengan Merah Putih.

Di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, kehebohan juga terjadi. Anggota DPR full hadir, sesuatu yang jarang terjadi. Mereka antusias menyambut Raja Salman dan ingin mendengarkan pidatonya. Usai Sang Raja berpidato yang hanya 2,5 menit lamanya, banyak Wakil Rakyat yang mencuri momen berselfie sepanjang Raja Salman berjalan keluar ruangan.

Di ranah media sosial jangan ditanya lagi. Netizen banyak membuat status soal Raja Salman. Mengucapkan "Ahlan wa Sahlan" hingga berharap Sang Raja bisa membawa perubahan di Indonesia. Seru. Heboh.

Emosi keagamaan begitu terasa. Umat seperti orang yang menantikan "Sang Penyelamat" yang tak kunjung hadir. Dan akhirnya tiba saat mantan Gubernur Riyadh itu tiba di Tanah Air.
Wajarkah emosi keagamaan merebak? Bagi saya sangat wajar.

Umat bukannya tak tahu bahwa kehadiran Sang Raja membawa misi tertentu terkait ekonomi dan perdagangan. Membawa 14 menteri, 1.500 orang dan selama hampir 9 hari di Indonesia sudah cukup membuktikan soal kunjungan ini berujung pada menjaga kepentingan nasionak Arab Saudi.

Umat paham bahwa secara geopoliitik, dunia sedang mengalami perubahan konstelasi. Timur Tengah membara, Donald Trump naik, Turki yang terlihat hegemonik adalah fenomena dunia yang sedang berada di simpang jalan dan menuju titik keseimbangan baru. Dan peran Arab Saudi ada di sana.

Juga tentang harga minyak yang terus menurun dan ancaman habisnya sumber daya minyak di Arab Saudi turut menjadi alasan kuat bahwa kunjungan Sang Raja beririsan kuat dengan hal tersebut.





Namun lahirnya emosi keagamaan dari umat tak bisa disalahkan. Setidaknya ada 3 hal:

1. Raja Salman adalah Penjaga Dua Kota Suci dan Indonesia adalah negara yang penduduk muslimnya paling banyak di dunia. Wajar jika mereka menyambut Sang Raja yang menjaga kiblat umat Islam.

2. Raja Salman banyak yang menyebutnya sebagai Raja Akhir Zaman. Ia sosok sholeh, hafidz Quran sejak usia 10 tahun dan anti maksiat, berlawanan dengan kelakuan anggota keluarga kerajaan lainnya. Tentang ini bisa dibaca dalam tulisan saya di wajada.net dengan judul: Salman, Sang Raja Akhir Zaman.

3. Kondisi umat Islam di Indonesia yang saat ini terpinggirkan dan terzalimi. Kitab Sucinya dinista namun Ahok Sang Penista tak juga ditahan meski berstatus terdakwa. Ulama dikriminalisasi dari Habib Rizieq Shihab hingga Bachtiar Nasir. Umat butuh sosok penyelamat dan tak salah jika mereka mengidentifikasi orang tersebut adalah Raja Salman.

Emosi keagamaan ini seharusnya bisa ditangkap pemerintah sehingga paska kunjungan Raja Salman, perlakuan terhadap umat berubah drastis.

Sejauh yang saya perhatikan, emosi keagamaan yang muncul masih wajar. Tak ada di antara umat yang mencium kakinya, meminum air yang bekas dipakainya atau membuat cap jempol darah untuk menunjukkan penghormatannya kepada Raja Salman.

Justru yang aneh itu adalah mereka yang masih saja mencibir dan mencaci-maki umat Islam yang gegap gempita menyambut Raja Salman. Padahal pendukungnya Ahok saja luar biasa bahagia ketika melihat junjungannya bersalaman dengan Raja Salman.

Pada ujungnya, emosi keagamaan yang menyertai kunjungan Raja Salman tak patut dicibir karena wajah negeri ini sontak berubah. Kalimat tauhid mengangkasa setelah sebelumnya dicampakkan, para menteri wanita menggunakan kerudung dan Presiden Joko Widodo mendirikan sholat tahiyyatul masjid di Istiqlal. Lalu, 11 item nota kesepahaman akhirnya hanya bonus dunia.

Syukron King Salman

Erwyn Kurniawan





Diberdayakan oleh Blogger.