Header Ads

Badarkah Ini?



Kurun tahun  2009-2011 saya menjadi Ghost Writer buku Sirah Nabawiyyah. Judulnya The Great Story of Muhammad: Dari Kelahiran hingga Detik-Detik Wafatnya Rasulullah saw. Penggalan Perang Badar menjadi salah satu yang paling menarik saya tuliskan. Berbagai kisah besar dan menakjubkan ada di sana.

Perang besar pertama di masa kenabian. Namun jumlah pasukan tak sebanding. Rasulullah saw hanya memimpin 313 jiwa, dan kaum kafir Quraisy 1000 orang.

Kaum muslimin dengan senjata seadanya, sedangkan pasukan lawan memiliki perlengkapan lengkap.

Ayah dan anak bertempur. Paman dan keponakan-saling tikam. Umar bin Khaththab membunuh pamannya, Al Ash bin Hisyam. Abu Bakar head to head dengan anaknya, Abdurrahman.

Hubungan kekerabatan putus. Yang ada hanyalah keimanan dan kekufuran. Yaumul Furqan. Hari Pembeda antara yang haq dan bathil.

Bayang-bayang kekalahan bukan tak terlintas di benak Nabi saw. Karena itulah di saat malam jelang perang, manusia agung itu tak tidur. Beliau tahajud, bermunajat sambil tak kuasa menahan tangisnya di tengah udara dingin yang menyengat, hujan deras yang menusuk bumi dan pejaman mata pasukannya.

Lalu keesokan harinya, saat perang berkecamuk, Nabi Akhir Zaman itu pun terus berdoa.

"Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini,  maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahMu. Ya Allah, kecuali jika Engkau menghendaki untuk tidak disembah selamanya setelah hari ini," ucap Rasulullah saw.

Beliau terus saja berdoa saking khawatir akan kekalahan umat Islam hingga surbannya terjatuh dari pundaknya dan dilihat sahabat terbaiknya: Abu Bakar.

"Ya Rasulullah, telah cukup doa yang engkau panjatkan. Sesungguhnya Dia akan menepati janji yang diucapkanNya kepadamu," ujar Abu Bakar.

Perang besar itu akhirnya Allah menangkan. Darah tumpah membasahi tanah Badar. David akhirnya mampu mengalahkan Goliath dengan bantuan turunnya malaikat dalam medan jihad.



Lebih dari 1400 tahun silam kisah epik itu menyejarah. Lalu hadirlah Pilkada DKI Jakarta 2017, sebuah ibukota dengan di-negara yang mayoritas penduduknya umat Islam. Banyak detail sejarah yang mirip antara keduanya.

Ada penistaan agama dan Al Quran oleh Ahok. Bukankah episode itu juga terjadi saat kaum kafir Quraisy mencaci maki Nabi saw dan Islam?

Ada ketimpangan antara umat Islam dengan pendukung Ahok? Dari sisi jumlah sumber daya manusia maupun ekonomi. Bukankah itu juga yang tersaji saat kafir Quraisy berjumlah 3 kali lipat dan memiliki kekayaan melimpah dibawah pimpinan Abu Sufyan?

Ada perbedaan pilihan antara anak dan bapak, paman dan keponakan. Lalu banyak yang akhirnya bermusuhan dalam pilkada ini. Bukankah persis seperti yang terjadi di tanah Badar?

Atmosfer Badar makin terasa dengan ulah aparat Negara dan para pendukung Ahok yang mencaci ulama, mengkriminalisasi dan menghina Islam.

Ketakutan akan kekalahan pasangan muslim menyeruak. Tak bisa membayangkan apa yang kelak akan terjadi saat Ahok berkuasa.

Menyamakan Perang Badar dengan suasana pilkada hari ini tentu saja dianggap berlebihan oleh banyak pihak, apalagi para Ahoker yang kebanyakan orang liberal, sekuler, syiah dan munafik. Dan saya pun tak berani menyamakan 100%. Hanya auranya yang saya tangkap.

Jika akhirnya kita tak setuju mensejajarkan Perang Badar dengan Pilkada DKI Jakarta, atau bahkan sekadar membandingkannya dalam batas-batas tertentu, cukuplah kita mengingat apa yang diucapkan Almarhum KH Hasyim Muzadi saat melihat Aksi 212.

"Saya melihat peristiwa Badar terjadi di Monas."

Badarkah ini?

Erwyn Kurniawan





Diberdayakan oleh Blogger.