Header Ads

Butuh Alasan Apalagi agar Ahok Dipenjara?





Tertera pada pasal 21 ayat (1) KUHAP, seorang tersangka atau tedakwa bisa ditahan bila memenuhi salah satu syarat. Yaitu dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pindana.
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.”
Begitu bunyi pasal tersebut. Kan "dan/atau" dalam redaksi menandakan cukup salah satu syarat terpenuhi.
Kemudian kita tahu, terdakwa penistaan agama yang sedang marak dibicarakan, Basuki T Purnama alias Ahok, tak ditahan oleh pihak yang berwajib. Kapolri Tito Karnavian mengemukakan tiga alasan. Pertama, para penyelidik tidak bulat soal adanya tindak pidana. Kedua, Ahok dinilai proaktif sehingga tidak dikhawatirkan akan melarikan diri. Ketiga, Ahok diyakini tidak akan menghilangkan barang bukti.
Bagaimana dengan satu syarat lagi, yaitu jaminan bahwa terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya lagi? Tak dijelaskan apakah Ahok diyakini tak kan mengeluarkan pernyataan yang membuat umat Islam tersinggung setelah penetapan tersangka. Pokoknya, Ahok tidak ditahan. Sudah, jangan banyak tanya!
Ahok sendiri terkenal dengan gaya bicaranya yang ceplas ceplos. Masih diingat oleh khalayak, ketika dalam siaran langsung talkshow di sebuah stasiun televisi, Ahok menyebut kata “taik” berulang kali. Kata yang tak pantas untuk dikemukakan di muka umum. Andai siaran itu tidak langsung, tentu pihak stasiun televisi sempat mengeditnya. Sudah diingatkan oleh host, tapi Ahok malah makin percaya diri dengan kalimatnya.
Itu hanya satu contoh.

Sudah lah ceplas ceplos, Ahok pun tempramen. Ia tak sungkan marah di hadapan banyak orang. Bahkan seorang ibu yang awam hukum/peraturan yang mengadu kepada Ahok, mendapat tudingan “maling”. Padahal kalau Ahok tidak tempramen, dia bisa meluruskan kesalahan ibu itu dengan sabar.




Ceplas-ceplos dan tempramen. Maka tak aneh bila setelah ditetapkan tersangka, Ahok kembali menyakiti umat Islam. Kali ini ketua MUI Ma’ruf Amin yang dituding-tuding. Kejadiannya pun di pengadilan, di depan majelis hakim. Padahal ulama mendapat tempat yang spesial bagi umat Islam. Menyakiti ulama, berarti menyakiti umat Islam. Kegaduhan pun kembali menyeruak. Atas sikap Ahok ini, Ketua NU Said Agil Siradj berkata, “Ahok Salah! Masyarakat DKI yang NU tidak akan pilih dia.”
Rasa “sakit hati” Ahok terhadap Surat Al-Maidah 51 ini sudah mengakar dan berlangsung bertahun-tahun sejak ia mencalonkan diri sebagai gubernur Bangka Belitung tahun 2007. “Dendam” itu kemudian ia tuangkan dalam bukunya “Merubah Indonesia” yang ia unggah di website pribadinya pada Juli 2010.  Di buku itu ia sudah berbicara di luar kepantasannya tentang ayat tersebut.
Nyinyirnya Ahok berlanjut pada rapat Pemprov DKI pada 12 Oktober 2015. Beredar video berdurasi 1 menit di mana Ahok menyebut “Al-Maidah 51” untuk nama wifi dengan passwordnya “kafir”. Ia berucap begitu sambil tertawa. Menjadikan firman Allah swt sebagai bahan olok-olokan.
Terakhir, video kampanye Ahok terbaru kembali menyakiti umat Islam. Di awal tayangan, digambarkan sekelompok orang berpakaian muslim berada di tengah kerusuhan, berlatar spanduk ujaran kebencian yang bertuliskan “Ganyang Cina”, gerak mulut mereka seperti mengucap “Allahu Akbar”. Kembali kegaduhan terjadi gara-gara Ahok.
Dari deretan peristiwa ini, rasanya kita sangsikan bila Ahok tak akan mengulangi perbuatan yang melecehkan umat Islam. Harusnya aparat peka dengan kegelisahan masyarakat. Menahan Ahok dan meminimalisirnya untuk mengeluarkan komentar ceplas ceplos bisa mengurangi kegaduhan yang menguras energi dan tak menguntungkan apa-apa bagi bangsa, seperti yang sedang kita alami.
Zico Alviandri






Diberdayakan oleh Blogger.