Header Ads

Dialog Angkringan: Liqo Metodenya Siapa?







Samidi : Tadz, ada ustadz dari kamar sebelah yang bilang kalau metode liqo itu bid'ah dan tidak pernah dicontohkan oleh rasulullah. Ada pencerahan tidak?

Mukidi : Sebenarnya, pernyataan itu kurang pas. Kalau ingin memahami metode liqo, kita musti flashback ke fase dakwah tahap awal, yakni fase siriyatud da'wah wa siriyatut tandzim. Sebenarnya dijelaskan panjang lebar karakteristiknya oleh Syaikh Munir Muhammad Ghadban dalam kitab Manhaj Haraki. Nah, liqo itu memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan pola pembinaan di darul arqam.

Samidi : Bisa diperjelas bagaimana karakteristiknya tadz?

Mukidi : Ada beberapa karakteristik yang menonjol. Pertama, ada pola pembinaan yang intensif. Para shahabat generasi assabiqunal awwalun datang ke darul arqam untuk belajar agama, dengan dibimbing langsung oleh Rasulullah. Kedua, bersifat rahasia karena tempatnya tersembunyi dan terpencil. Tidak pernah kita dengar dalam kajian sirah nabawiyah tempat tersebut diketahui oleh kaum Quraisy.

Ketiga, Menggunakan Al Qur'an sebagai instrumen utama. Kala itu, pola pembinaan mutlak hanya menggunakan Al Qur'an. Karena itu rasulullah marah saat melihat Umar membaca kitab Taurat. Keempat, ada sesi khusus untuk membicarakan perkembangan situasi di Makkah. Rasulullah dan para shahabat lalu mendiskusikan beragam info tersebut demi melakukan ekspansi dakwah, dengan membandingkan antara peluang yang bisa dioptimalkan dengan mudharat yang harus dihindari.

Samidi : Kalau tentang pelaksanaannya yang sepekan sekali bagaimana tadz?

Mukidi : Wallahu a'lam kalau tentang itu. Tapi kita bisa memahaminya pada kasus shahabat Ibnu Mas'ud ra. Beliau kan dakwah di Iraq. Disana, beliau membuka majelisnya sepekan sekali. Ada sebagian santrinya yang ingin agar beliau membuka majelisnya setiap hari. Tapi jawaban dari Ibnu Mas'ud ra adalah "Aku khawatir kamu jadi bosan". Belajar agama tentu setiap saat dan setiap hari. Namun yang difasikitasi lewat wasilah liqo memang dibuat sepekan sekali.





Samidi : Kalau tentang mutaba'ah amal yaumiyah gimana tadz?

Mukidi : Rasulullah kan juga pernah memutaba'ah amal yaumiyah para shahabatnya. Riwayat yang paling terkenal yakni seusai shalat berjama'ah, tiba - tiba rasulullah bertanya "Siapa diantara kalian yang sudah bersedekah, sudah menolong orang dll". Lalu dari semua pertanyaan itu, Abu Bakar menjawab "Saya ya rasulullah". Jadi kalau masalah mutaba'ah amalan, itu bukan hal baru.

Sedangkan secara pribadi, rasulullah juga menanyakan beragam hal dan kondisi beberapa shahabatnya. Demikian pula para shahabatnya sering mengadukan masalah dan kondisi yang mereka alami kepada rasulullah. Misalnya Abu Darda yang mengadukan sikap Salman Al Farisi yang dianggap menghalanginya beribadah. Bahkan, rasululah juga bertanya (dengan maksud menghibur) kepada anak kecil yang burung peliharaannya mati. Jadi, proses interaksi antara murabi dengan mutarabi dalam sesi mutaba'ah adalah hal yang juga biasa dilakukan oleh rasulullah bersama dengan para shahabatnya.

Samidi : Kalau tentang tholabul ilminya sendiri gimana tadz? Bukannya kalau mau mencari ilmu harus kepada seorang syaikh?

Mukidi : Harus dipahami bahwa liqo bukanlah satu - satunya wasilah tarbawi dalam proses thalabul ilmi. Masih banyak sarana yang lain, seperti tasqif, daurah dll. Liqo lebih menitik beratkan kepada proses pembentukan pribadi muslim yang shalih, penyatuan potensi dan kekuatan, membangun semangat korps dalam kerja - kerja dakwah dilingkungan serta menjadi sarana pengintegrasian individu peserta liqo dalam wadah jama'ah dakwah.

Samidi : Berarti dalam liqo, proporsi untuk thalabul ilmi-nya memang tidak banyak ya tadz?

Mukidi : Ya betul, tidak banyak porsi untuk itu. Dalam urusan ilmu, mereka yang ikut liqo jelas kalah dibandingkan mereka yang ikut ma'had atau mondok di ponpes. Tapi dari segi produktivitas amal, liqo jauh lebih produktif, lincah dan gesit dalam menangkap peluang dakwah ditengah masyarakat ketimbang model ma'had atau ponpes. Nah, kekurangan ini akan ditambal dengan wasilah lain berupa tasqif dan daurah. Disana, mentornya langsung orang yang bertitel syaikh. Masalahnya, sebagian kalangan menuding bahwa ngajinya kita hanya melalui sarana liqo semata. Ini ya jelas salah.

Samidi : Oh, begitu ya tadz. Sebenarnya, apa yang dilakukan didalam liqo ternyata juga ada sandarannya.

Mukidi : Ya begitulah. Kalau masih ada yang menganggapnya sebagai bid'ah atau tidak pernah diajarkan oleh rasulullah, situasinya mirip - mirip dengan amalan wiridz atau dzikir.

Samidi : Waduh, maksudnya bagaimana itu tadz?

Mukidi : Kan banyak ulama atau syaikh yang merangkai bacaan dzikir menjadi sebuah wazhifah tertentu. Karena itu tidak dilakukan oleh rasulullah, maka rangkaian bacaan dzikir tersebut dianggap sebagai bid'ah. Padahal kalau ditelaah satu persatu lafal dzikirnya, semua ada riwayatnya. Nah, situasi atas liqo mirip - mirip dengan kasus itu. Cuma, ada lagi yang lebih mengherankan sebenarnya.

Samidi : Apa itu tadz? Jadi penasaran nich.

Mukidi : Kalau pembelajaran islam dan pengorganisasian dakwah dengan model liqo dianggap sebagai bid'ah dan tidak pernah dicontohkan oleh rasulullah, semestinya pembelajaran yang bersifat khusus dan berjenjang juga harus dipermasalahkan. Karena rasulullah kan selalu memberikan pengajaran yang bersifat umum kepada para shahabatnya, baik shahabat generasi awal maupun yang baru jadi mualaf.

Sangat masyhur bahwa sejak subuh hingga siang hari, Imam Syafi'i mengajar beberapa majelis ditempat yang sama, dengan peserta yang berbeda - beda. Pertama, beliau mengajar tentang Al Qur'an, dilanjutkan dengan Hadits, Fikih, lalu Bahasa Arab. Antara satu majelis dengan majelis yang lain, pesertanya berbeda. Dimasa rasulullah, tidak ada situasi seperti ini. Beranikah mereka mengatakan bahwa metodenya Imam Syafi'i ini juga bid'ah?

Samidi : Hm,.. Betul juga ya tadz.

Mukidi : Hal lain, sebagaimana yang sangat lumrah jaman sekarang. Yakni pola berjenjang dalam menuntut ilmu sebagaimana tergambarkan dalam pendidikan formal disekolah, madrasah, ma'had, ponpes dll. Tidak ada juga hal sedemikian itu dimasa rasulullah. Beranikah mereka mengatakan bahwa itu semua adalah perkara bid'ah?

Samidi : Tadz, bukannya masalah bid'ah itu hanya dalam urusan ubudiyah semata?

Mukidi : Defi isi bid'ah adalah segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh rasulullah. Dalam haditsnya, tidak ada keterangan bahwa bid'ah yang dimaksud oleh rasulullah itu hanya dalam urusan ubudiyah semata. Karena itu, Abu Bakar Ash Shidiq, Zaid bin Tsabit dll awalnya menolak untuk membukukan Al Qur'an (menghimpun dalam satu mushaf) dengan alasan "Perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh rasulullah". Sangat clear kan?

Jika perbuatan itu memang bukan bid'ah, niscaya mereka tidak akan ragu dan tidak akan mengungkapkan alasan yang demikian itu. Karena itulah, kami termasuk pihak yang mengikuti pendapat Imam Syafi'i bahwa ada juga bid'ah hasanah. Imam Syafi'i adalah ulama yang digelari nashirus sunnah dan disebut - sebut sebagai mujadid abad ke-2. Tentu bicaranya pakai ilmu, bukan hawa nafsu saja.

Samidi : Hm, betul juga ya tadz. Ya sudah tadz, sudah cukup untuk sementara ini. Untuk liqo besok, insya Allah kami siap jadi shahibul baitnya.

Mukidi : Yap, Alhamdulillah.

Eko Jun



Diberdayakan oleh Blogger.